Penulis: admin

  • KERAJINAN TANGAN ASLI INDONESIA WAYANG KULIT

    KERAJINAN TANGAN ASLI INDONESIA WAYANG KULIT

    Wayang kulit (bahasa Jawa: ꦮꦪꦁꦏꦸꦭꦶꦠ꧀) adalah bentuk tradisional dari kesenian wayang yang aslinya ditemukan dalam budaya Jawa dan Bali di Indonesia. Narasi wayang kulit seringkali berkaitan dengan tema utama kebaikan melawan kejahatan.

    Dalam kepercayaan dan sastra Jawa, wayang kulit diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang merupakan sebagai anggota Wali Songo dan merupakan keturunan Bangsawan Ponorogo, Arya Wiraraja. Kanjeng Sunan Kalijaga melihat masyarakat Indonesia terutama masyarakat suku Jawa yang menggemari pertunjukan Wayang Beber, dalam Islam melukis diatas kertas dianggap Haram (dilarang), maka dari itu Kanjeng Sunan Kalijaga memodifikasi bahan material dari karakter Wayang yang semula-mula terbuat dari Daluang (kertas Ponoragan) dan diganti menggunakan bahan dasar Kulit sapi, atau kerbau. Selain itu juga, digunakan sebagai syiar agama Islam jalur budaya tradisional.Sunan Kalijaga juga menambahkan karakter-karakter baru seperti punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng.

    Seni pewayangan,khususnya wayang, diperkirakan sudah lahir di Indonesia pada zaman pemerintahan Airlangga, yang memerintah kerajaan Kahuripan(976-1012),Karya sastra Jawa yang menjadi sumber cerita wayang sudah ditulis oleh pujangga Indonesia pada Abad 10, seperti kitab Ramayana kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung (989-910). Kitab ini disinyalir merupakan gubahan dari kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Para pujangga tidak lagi hanya menyadur kitab-kitab dari mancanegara tetapi sudah mengubah dan membuat karya sastra dengan falsafah Jawa.  mulai dipertontonkan zaman pemerintahan Airlangga. Hal ini bisa dilihat dari beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu, yang menyebutkan kata-kata mawayang dan aringgit yang sudah ada menunjuk pada pertunjukan wayang yang dimaksud disini adalah wayang kulit. Dengan demikian kesenian wayang kulit sudah ada sejak zaman Airlangga dan masih berlangsung sampai saat ini.

    Wayang berasal dari kata “Ma Hyang” yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna “bayangan”, hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.  dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

    Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji, maupun kisah Rohani dari agama Islam, Kristen, Hindu, Budha.

    Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).  lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

    Pembuatan Wayang kulit

    Wayang kulit dibuat dari bahan kulit Kambing, Sapi Dan Kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, per buah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.

    Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya, dilakukan pemasangan pada bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerakkan bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.

    Jenis-jenis wayang kulit berdasarkan daerah

    •  Purwa (Ponorogo)
    •  Emas (Ponorogo)
    •  Gagrak Kedu
    •  Gagrag Yogyakarta
    •  Gagrag Surakarta
    •  Gagrag Banyumasan
    •  Gagrag Jawa Timuran
    •  Krucil
    • Klitik
    • Kancil
    • Suluh
    •  Bali
    •  Banjar (Kalimantan Selatan)
    •  Palembang (Sumatera Selatan)
    •  Betawi (Jakarta)
    •  Cirebon (Jawa Barat)
    •  Sasak (Lombok)
    •  Madura (sudah punah)
    •  Buntok (Barito Selatan)
    • Wayang Siam (Kelantan, Malaysia)

    Dalang wayang kulit

    Dalang adalah bagian terpenting dalam pertunjukan kulit (wayang purwa). Dalam terminologi bahasa Jawa, dalang (halang) berasal dari akronim ngudal piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau menyebarluaskan dan piwulang artinya ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi keberadaan dalang dalam pertunjukan  bukan saja pada aspek tontonan (hiburan) semata, tetapi juga tuntunan. Oleh karena itu, di samping menguasai teknik pedalangan sebagai aspek hiburan, dalang haruslah seorang yang berpengetahuan luas dan mampu memberikan pengaruh baik pada permainan tersebut.

    Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Klaten, Surakarta), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), almarhum Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogyakarta), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Yogyakarta), Ki Soeparman (gaya Yogyakarta), Ki Anom Suroto (gaya Solo), almarhum Ki Manteb Soedharsono (gaya Solo), Ki Enthus Susmono, Ki Agus Wiranto, almarhum Ki Suleman (gaya Jawa Timur), almarhum Ki Sugino Siswocarito (gaya Banyumas). Sedangkan pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.

    Wayang kulit memiliki sejarah panjang di Indonesia yang dapat ditelusuri hingga lebih dari seribu tahun yang lalu. Berikut beberapa peristiwa penting dalam sejarah wayang kulit: 

    Asal-usul Wayang kulit

    Wayang kulit diperkirakan sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Istilah wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna, yaitu hamayang yang berarti bayang-bayang. 

    Pengaruh Hindu-Buddha

    Wayang kulit digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan legenda epik seperti Ramayana dan Mahabharata. 

    Perkembangan di masa Islam

    Seiring perkembangan agama Islam di Nusantara,  digunakan sebagai sarana dakwah oleh para wali, terutama Sunan Kalijaga. 

    Perubahan bentuk wayang

    Wayang golek diubah menjadi wayang purwa yang terbuat dari kulit dan hanya menampilkan bayangan saja. 

    Pengakuan sebagai Warisan Budaya Takbenda

    Pada tahun 2003, wayang kulit Indonesia diakui sebagai Warisan 

    Budaya Tak Benda UNESCO. 

    Berikut adalah beberapa peristiwa penting dalam sejarah  di 

    berbagai zaman:

    Zaman Dyah Balitung (898-910 M)

    Zaman Prabu Dharmawangsa (991-1016 M)

    Zaman Prabu Airlangga (1019-1042 M)

    Zaman Kediri (1042-1222 M)

    Zaman Majapahit (1293-1528 M)

    Zaman Demak (1500-1550 M)

    Zaman Pajang (1568-1586 M)

    Zaman Mataram Islam

  • Songket kain tenun asli indonesia

    Songket kain tenun asli indonesia

    Songket atau songket adalah jenis tenun tradisional Indonesia yang berasal dari Sumatra. Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan menggunakan benang emas dan perak. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang. Bahan kain yang umum digunakan dalam pembuatan Songket yakni meliputi sutra, katun, dan katun sutra

    Songket kerap dikaitkan dengan Kemaharajaan Sriwijaya sebagai asal mula tradisi berasal, beberapa jenis yang populer pun tak lepas dari lokasi-lokasi yang pernah berada dibawah kekuasaan Sriwijaya, salah satu lokasi dominan yang juga diyakini sebagai ibukota Kemaharajaan Sriwijaya di masa lampau yakni Palembang, yang terletak di Sumatera Selatan. Selain Palembang, beberapa daerah di Sumatera juga menjadi lokasi penghasil terbaik dalam kelasnya, yakni meliputi daerah-daerah di Minangkabau atau Sumatera Barat seperti Pandai Sikek, Silungkang, Koto Gadang, dan Padang. Di luar Sumatra, kain juga dihasilkan oleh daerah-daerah seperti Bali, Lombok, Sambas, Sumba, Makassar, Sulawesi, dan daerah-daerah lain di Indonesia

    Karena faktor sejarah kekuasaan Kemaharajaan Sriwijaya, perdagangan, dan perkawinan campuran, Songket pun juga menjadi populer di Kawasan Maritim Asia Tenggara khususnya di negara-negara sekitar Indonesia seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura.

    Pada 2021, Songket telah diakui sebagai milik Malaysia oleh Warisan Budaya Tak Benda UNESCO. Tradisi diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tradisi Songket tersebut meliputi tradisi Songket asal Palembang dan Sambas pada 2013; Pandai Sikek pada 2014; tradisi Songket asal Beratan, Bali pada 2018; dan tradisi Songket Silungkang pada 2019.

    Istilah

    Secara etimologi istilah “Songket “berasal dari lakuran kata dalam bahasa melayu palembang yakni “Songsong” + “teket” yang artinya “songsong” dan “sulam” secara berurutan , hal ini berkaitan atau merujuk pada metode pembuatan tenunan itu sendiri; yakni dengan mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas

    Istilah songket kemudian diserap sebagai “sungkit” dalam bahasa Melayu Riau dan bahasa Indonesia, yang berarti “mengaitkan”, “menyungkit” atau “mencungkil”. Namun, bukti tertulis paling awal yang dapat dipastikan mengenai pakaian ini dalam naskah berbahasa Melayu selalu menyebutnya sebagai sungkit bukan , misalnya dalam Hikayat Aceh tahun 1620-an dan Hikayat Banjar tahun 1660-an.

    Selain itu, dalam teori lain, kata songket juga mungkin berasal dari istilah songka, yang merupakan songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai

    Sejarah

    Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Palembang maupun Minangkabau yang berasal dari pulau Sumatera. Menurut Hikayat Palembang, asal mula kain songket bermula dari kemaharajaan Sriwijaya. Bahan utama pembuatan seperti sutra biasanya diproduksi oleh petani ulat sutra lokal, namun untuk menghasilkan kualitas songket yang lebih bagus masyarakat lokal juga mengekspor bahan sutra dari Tiongkok, sedangkan untuk benang emas biasanya diproduksi oleh para masyarakat lokal dengan mengolah emas yang dihasilkan dari beberapa daerah di pulau Sumatra (pada masa lampau, Sumatra dikenali juga sebagai Swarnadwipa, berasal dari gabungan kata dalam bahasa Sanskerta: स्वर्ण (svarna; emas) dan द्वीप (dvipa; pulau), yang artinya “pulau emas”). Kain ditenun pada alat tenun bingkai, pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper.

    Sebagai akibat dari pengaruh kekuasaan kemaharajaan Sriwijaya, kain menyebar dari Palembang ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan Sriwijaya, yakni sebagian besar wilayah di Sumatra (terutama di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung), Kepulauan Riau, Kalimantan (terutama di Sambas), Semenanjung Malaya (juga bernama lain: Semenanjung Kra), Thailand, Kamboja, dan juga meliputi sebagian Jawa. Menurut tradisi Kelantan, teknik tenun seperti ini diperkenalkan dari Chaiya (di Thailand) yang merupakan sebuah daerah yang pernah menjadi salah satu cabang daerah pusat dibawah kekuasaan kemaharajaan Sriwijaya, yang mana kemudian teknik ini berkembang ke selatan di Pattani hingga mencapai ke Kelantan dan Terengganu sekitar abad ke-16. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru para pedagang Minangkabau, Palembang, dan India yang berlayar dari Palembang lah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali sejak zaman kejayaan Sriwijaya

    Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain nan keemasan juga kerap dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, yang merupakan kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-14 di Sumatera. Dan hingga masa kini, tradisi tetap lestari terjaga dengan baik di Palembang, dan daerah ini juga akhirnya dikenali sebagai pusat kerajinan songket paling masyhur di Indonesia. adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah, tambang emas di Sumatra terletak di Sumatera Selatan dan di pedalaman dataran tinggi Minangkabau. Penemuan benang emas di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatra, bersama dengan batu merah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, mengindikasikan bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an Masehi di Sumatra. Songket Palembang merupakan terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk “Ratu Segala Kain”. eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan etnis Palembang dan Minangkabau mulai memakai sarung dengan baju kurung.

    Selain dari pengaruh kemaharajaan Sriwijaya yang kuat di Semenanjung Malaya (juga dikenali sebagai Semenanjung Kra), kemungkinan tenun songket mencapai daerah tersebut melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Palembang dan Minangkabau, karena yang berharga (seperti Palembang dan Songket Minangkabau) kerap kali dijadikan mas kawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Pusat kerajinan terletak di pusat kerajaan Sriwijaya yakni Palembang (di Sumatera Selatan) yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal karena benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli hasil dari Sumatra. Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun ca 1849

    Motif

    Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau.Beberapa pemerintah daerah telah mematenkan motif tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif lain

    Songket kini

    Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; semula adalah kain mewah para bangsawan yang menunjukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.

    sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Pada masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau baju kurung.

    Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut. Hal ini sebagai upaya agar senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat.Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan kantung ponsel.

    Pembuatan songket

    songket merupakan jenis kain tenun tradisional yang ditenun menggunakan benang emas bernama panta (alat tenun yang terbuat dari kayu, tempat benang yang akan ditenun biasa berukuran 2 x 1,5 meter) berikut cara sederhana pembuatan :

    • menyiapkan benang
    • menangi benang
    • menyiapkan benang emas
    • menyambung benang
    • menggulung benang
    • kesempurnaan / penyuluhan tenayan.

    Pusat kerajinan songket

    Pusat kerajinan tangan tenun di Indonesia dapat ditemukan di Sumatra, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok dan Sumbawa. Di Pulau Sumatra pusat kerajinan yang termasyur dan unggul adalah Songket Minangkabau di daerah Pandai Sikek dan Silungkang, Sumatera Barat, serta Palembang di Palembang, Sumatera Selatan. Di Bali, desa pengrajin tenun songket dapat ditemukan di kabupaten Klungkung, khususnya di desa Sidemen dan Gelgel. Sementara di Lombok, desa Sukarara di kecamatan Jonggat, kabupaten Lombok Tengah, juga terkenal akan kerajinan songketnya.Di luar Indonesia, kawasan pengrajin didapati di Malaysia; antara lain di pesisir timur Semenanjung Malaya khususnya industri rumahan di pinggiran Kota Bharu, Kelantan dan Terengganu; serta di Brunei

  • NOKEN TAS ANYAMAN ASLI INDONESIA

    NOKEN TAS ANYAMAN ASLI INDONESIA

    Noken atau Minyak adalah tas tradisional masyarakat Papua Pegunungan yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu. Sama dengan tas pada umumnya tas ini digunakan untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari.

    Masyarakat Papua biasanya menggunakannya untuk membawa hasil-hasil pertanian seperti sayuran, umbi-umbian dan juga untuk membawa barang-barang dagangan ke pasar. Karena keunikannya yang dibawa dengan kepala, noken ini di daftarkan ke UNESCO sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia. Pada 4 Desember 2012, noken khas masyarakat Papua ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tak benda UNESCO.

    Filosofi Noken 

    Tas Noken ini sendiri asli buatan mama-mama di Papua. Tas tradisional Noken memiliki simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan bagi masyarakat di tanah Papua terutama kebanyakan di daerah Pegunungan Tengah Papua seperti suku Mee/Ekari, Damal, Suku Yali, Dani, Suku Lani dan Bauzi.

    Yang menarik dari ini adalah hanya orang Papua saja yang boleh membuat . Para wanita di Papua sejak kecil sudah harus belajar untuk membuat , karena membuat dari dulu hingga saat ini dapat melambangkan kedewasaan si perempuan itu. Karena jika perempuan papua belum bisa membuat dia tidak dianggap dewasa dan itu merupakan syarat untuk menikah. Noken dibuat karena suku-suku di Papua membutuhkan wadah yang dapat memindahkan barang ke tempat yang lain.

    Noken terbuat dari bahan baku kayu pohon Manduam, pohon Nawa atau Anggrek hutan dan masih banyak lagi jenis pohon yang umum digunakan. Masyarakat Papua biasanya menggunakan untuk bermacam kegiatan, yang berukuran besar (disebut Yatoo) dipakai untuk membawa barang seperti kayu bakar, tanaman hasil panen, barang-barang belanjaan, atau bahkan digunakan untuk menggendong anak. yang berukuran sedang (disebut Gapa Goo) digunakan untuk membawa barang-barang belanjaan dalam jumlah sedang, dan yang berukuran kecil (disebut minutes) digunakan untuk membawa barang-barang pribadi. Keunikan juga difungsikan sebagai hadiah kenang-kenangan untuk tamu yang biasanya baru pertama kali menginjakkan kaki di bumi Papua dan dipakai dalam upacara.

    Membuat Noken cukup rumit karena menggunakan cara manual dan tidak menggunakan mesin. Kayu tersebut diolah, dikeringkan, dipilah-pilah serat-seratnya dan kemudian dipintal secara manual menjadi tali/benang. Variasi warna pada Noken dibuat dari pewarna alami. Proses pembuatannya bisa mencapai 1-2 minggu, untuk dengan ukuran besar, bisa mencapai 3 minggu bahkan sampai 2-3 bulan, tergantung prosesnya. Di daerah Sauwandarek, Papua, masih bisa kita temukan pembuatan Noken secara langsung. Harga disana relatif murah, antara Rp.25.000-Rp.50.000 per buah tergantung jenis dan ukurannya.

    Noken dibuat oleh orang perempuan Papua asli dan hanya merekalah yang berhak membuatnya, perempuan yang menguasai pembuatan Noken menunjukkan bahwa ia telah dewasa. Jika sudah dianggap dewasa, maka perempuan Papua barulah boleh menikah.

    Multifungsi Noken 

    Tas Noken ini sendiri memiliki ukuran yang bervariasi, bahkan ada yang berukuran besar yang biasa dipakai oleh mama-mama yang bekerja sebagai petani dan mampu mengangkat bahan hasil bumi yang cukup berat dengan menggunakan tas noken ini. Tas ini biasanya digunakan dengan cara memakainya di jidat atau bagian depan kepala dengan menggabungkannya ke arah belakang punggung mereka. Sedangkan untuk tas yang berukuran kecil biasa dipergunakan oleh siswa-siswa pelajar asli putra-putri daerah Papua untuk dipergunakan sebagai tempat buku dan keperluan belajar di bangku sekolah maupun di kampus.

    Dan selebihnya lagi biasanya tas ini oleh pendatang yang biasa berkunjung ke Papua sebagai bahan oleh-oleh yang dibawah ke daerah masing-masing sebagai hiasan atau oleh-oleh bagi sanak keluarga mereka dikarenakan tas tersebut terlihat unik dipandang mata.

    Noken merupakan kerajinan tangan khas Papua berbentuk seperti tas. Ada 250 etnis dan bahasa di Papua, namun semua suku memiliki tradisi kerajinan tangan yang sama. Fungsi Noken sangat beragam. Namun, biasa dipakai untuk membawa barang seperti kayu bakar, tanaman hasil panen, sampai barang-barang belanjaan. yang kecil biasa dipakai untuk membawa kebutuhan pribadi. Tak hanya itu, juga dipakai dalam upacara dan sebagai kenang-kenangan untuk tamu.

    Warisan budaya dunia

    4 Desember 2012 telah diputuskan sebagai warisan budaya Dunia tak Berbenda oleh UNESCO di Prancis oleh Arley Gill sebagai Ketua Komite, yang bertujuan untuk melindungi dan menggali kebudayaan tersebut

    Sistem noken

    Sistem noken (juga disebut sistem ikat) adalah sebuah sistem pemilihan umum yang digunakan khusus untuk sejumlah kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah di Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, Indonesia. Sistem ini dinamai dari noken, yaitu sebuah tas anyaman dari serat kulit kayu yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat Papua. Tidak diketahui secara pasti kapan sistem pertama kali digagas. Konon gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam noken muncul secara spontan saat pesta bakar batu yang merupakan sebuah tradisi di Papua, tetapi ada pula yang meyakini bahwa sistem sebenarnya diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1970-an dan bukan sebuah tradisi yang sudah dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

    Sistem noken digunakan di wilayah adat Mee Pago (Papua Tengah) dan La Pago (Papua Pegunungan). Walaupun tidak ada definisi umum untuk menentukan sistem pemilihan mana yang dapat dianggap sebagai sistem , secara umum terdapat dua pola sistem . Pola pertama, yaitu sistem big man (pria berwibawa), menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada kepala suku. Kepala suku dapat melakukan pencoblosan untuk warganya atau sekadar memberitahukan pilihan masyarakatnya kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Pola kedua, yaitu sistem “noken gantung”, dilandaskan pada hasil kesepakatan bersama masyarakat dengan kepala suku setelah melalui proses deliberasi (melakukan pertimbangan yang mendalam dengan melibatkan semua pihak sebelum mengambil keputusan). Pada hari pemilihan umum, tas berperan sebagai pengganti kotak suara. Masing-masing melambangkan suatu calon, dan pemilihan dilakukan di muka umum dengan memasukkan surat suara ke dalam noken calon yang telah disepakati, atau dengan berbaris di hadapan tersebut. Suara bisa diberikan kepada satu calon saja atau dibagi kepada beberapa calon sesuai kesepakatan sebelumnya. Namun, dilaporkan bahwa belakangan unsur deliberasi dan pemilihan umum dengan menggunakan noken sudah menghilang di lapangan.

    Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sistem noken adalah konstitusional karena dianggap sebagai pendekatan yang paling realistis untuk mencegah konflik dan disintegrasi. Selain itu, sistem noken juga dianggap oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari hak adat masyarakat wilayah Pegunungan Tengah. Namun, sistem noken juga menuai kritikan karena memicu sistem broker yang berujung pada politik uang; rentan dimanipulasi oleh elite politik; mengorbankan hak pilih individu; serta bertentangan dengan asas pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Hasil pemilihan umum sistem noken juga terbilang “ganjil” bila dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, mengingat tingkat partisipasi mencapai 100%, jumlah suara tidak sah tidak ada sama sekali, dan perolehan suara calon di wilayah tertentu bisa mencapai 100%. Selain itu, pandangan Mahkamah Konstitusi bahwa sistem noken memelihara perdamaian juga dipertanyakan, karena sistem tersebut malah dianggap bisa memperburuk ketegangan dan konflik antaretnis.

    Latar belakang

    Papua secara resmi bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969 setelah dilaksanakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang kontroversial. Dalam PEPERA, sekitar seribu orang yang telah diseleksi oleh Indonesia (kurang dari 1% populasi saat itu) secara aklamasi memilih bersatu dengan Indonesia. Setelah keberhasilan gerakan Reformasi dan tumbangnya pemerintahan Soeharto di Indonesia, pemilihan umum yang jujur dan adil diselenggarakan di Indonesia. Program desentralisasi kemudian berujung pada pemekaran berbagai kabupaten dan distrik. Pada tahun 1999, Papua dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua Barat dengan Manokwari sebagai ibu kotanya dan Papua dengan Jayapura sebagai ibu kotanya. Wilayah Papua kemudian memperoleh otonomi khusus pada tahun 2001. Selanjutnya, Provinsi Papua dimekarkan lagi pada tahun 2022, dengan tambahan tiga provinsi baru yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Papua sendiri merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman etnis. Terdapat lebih dari 261 kelompok etnis di wilayah Papua di Indonesia, sementara di Pulau Papua secara keseluruhan, terdapat sekitar 1.797 bahasa yang tergolong ke dalam 127 rumpun bahasa. Di tengah tren desentralisasi dan juga untuk menghargai keanekaragaman, Papua diperbolehkan menerapkan sistem noken yang berbeda dari sistem pemilihan umum nasional

    Etimologi Noken 

    Sistem ini dinamai dari , yaitu sebuah tas tradisional yang umum digunakan oleh masyarakat Papua. Tas ini (yang juga disebut belum di Papua Nugini dan su di kalangan suku Dani) terbuat dari serat kulit kayu dan merupakan hasil karya perempuan-perempuan Papua yang pembuatannya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Lelaki tidak diperbolehkan membuat , karena noken dianggap terkait dengan kesuburan wanita. Tas dapat digunakan untuk beraneka macam kegiatan. Perempuan-perempuan Papua dapat menggunakan tas untuk membawa bayi mereka, kayu bakar, anak babi, atau hasil panen. Laki-laki juga menggunakan tas untuk keperluan sehari-hari. Kegunaan-kegunaan lain yang telah diidentifikasi oleh penelitian etnologis meliputi ornamen dalam tarian tradisional, perlindungan dari terik matahari dan dinginnya cuaca, perlambang status sosial, atau bahkan untuk fungsi-fungsi keupacaraan, seperti upacara perkawinan.Noken juga dipercaya sebagai pembawa kekuatan leluhur dan penangkap roh

    Dalam kebudayaan masyarakat Papua, noken bukan sekadar tas, tetapi memiliki peranan sentral dalam kehidupan sehari-hari. Menurut aktivis budaya Papua Titus Pekei, “noken adalah salah satu hal yang menyatukan semua orang Papua Barat (…) Semua suku di Papua yang berjumlah 250 menggunakan [noken].” Menurut penelitian Pieter Ell dkk., dianggap sebagai lambang relasi, kekeluargaan, identitas, perlindungan, ekonomi, kehidupan, estetika, serta spontanitas, kejujuran, keterbukaan, dan transparansi. Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas, noken merupakan simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan. Mengingat memiliki peran sosial-budaya yang sangat penting dalam masyarakat Papua, telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada Desember 2012.

    Asal nama kata “noken” tidak diketahui secara pasti. Sistem noken dinamai dari tas ini karena dalam sistem tersebut, menggantikan kotak suara yang lazim ditemui di wilayah lain di Indonesia. Sistem ini kadang disebut “sistem ikat”, walaupun juga tidak dijelaskan dari mana istilah ini berasal. Pada saat yang sama, penggunaan istilah “sistem noken” telah dikritik oleh peneliti isu konflik Papua Cillian Nolan. Menurutnya, istilah “sistem” tidak tepat karena tidak ada aturan tertulis, tidak ada praktik yang seragam, dan juga tidak ada standar teknis minimal untuk pencatatan suara. Selain itu, ia merasa bahwa tidak memainkan peran utama dalam sistem pemilihan ini. Di sisi lain, Cahyo Pamungkas menganggap sebagai simbol konsensus

    Sejarah

    Tidak diketahui secara pasti asal mula dari sistem noken. Menurut hasil penelitian Pieter Ell dkk., konon gagasan penggunaan noken muncul secara spontan dalam sebuah pesta bakar batu yang merupakan sebuah tradisi di Papua. Gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam diterima oleh semua hadirin pesta tersebut dan lalu terus diperkenalkan dan disebarkan ke berbagai tempat hingga akhirnya para kepala suku, tokoh adat, dan tokoh masyarakat menyepakati gagasan tersebut. Dengan demikian, sistem noken digunakan dalam pemilihan umum legislatif, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden pada tahun 2009 di beberapa kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah Papua

    Majelis Rakyat Papua (yang merupakan sebuah lembaga perwakilan untuk penduduk asli Papua) mengklaim bahwa suku-suku di wilayah adat Meepago dan Lapago sudah mempraktekkan sistem noken sejak lama. Menurut mereka, sistem ini pertama kali diterapkan di Republik Indonesia untuk pemilihan umum legislatif tahun 1971. Sementara itu, seorang petugas pemilu di Asolokobal, Jayawijaya, Damianus Wetipo, berpendapat bahwa sistem noken pertama kali digunakan untuk pemilu tahun 1999 yang merupakan pemilu jujur dan adil pertama setelah zaman Orde Baru.

    Terdapat pihak yang meragukan bahwa sistem noken sudah dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat Mee Pago dan La Pago. Aktivis hak asasi manusia dan cendekiawan Papua Pares Wenda menyatakan bahwa sistem noken diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia di Papua pada akhir dasawarsa 1970-an agar masyarakat Papua di pedalaman dapat dilakukan dengan sistem pemilihan umum nasional secara bertahap. Menurutnya, sebelum diperkenalkan oleh Indonesia, sistem noken tidak pernah digunakan untuk memilih kepala suku di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Titus Pekei juga mengkritik penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara; menurutnya, ini merupakan kesalahan penafsiran terhadap peran noken dalam kehidupan masyarakat Papua. Ia menegaskan bahwa tujuan noken bukan untuk mengumpulkan surat suara, tetapi untuk menunjukkan status atau kepemimpinan pemiliknya.Ketua Dewan Adat Baliem Yulianus Hisage bahkan mengklaim bahwa sistem noken bukanlah bagian dari kebudayaan mereka.

    Maka dari itu, muncul penilaian bahwa sistem noken bukanlah sebuah tradisi yang sudah dipraktekkan masyarakat Mee Pago dan La Pago sejak lama, tetapi merupakan hasil ciptaan pada masa modern. Menurut antropolog Birgit Bräuchler, “Apabila [sistem noken] adalah hasil ciptaan pemerintah Indonesia, bisa dicurigai bahwa pemerkuatan lebih lanjut terhadap sistem pemilihan kolektif tersebut bisa-bisa mengulangi kembali apa yang digadang-gadang sebagai ‘Act of Free Choice’ [Penentuan Pendapat Rakyat] tahun 1969, yang sangat dimanipulasi, yang acap kali disebut oleh banyak pihak sebagai ‘Act of No Choice’ [Penentuan Pendapat Rakyat Tanpa Pilihan

    Sebaran

    Sistem noken digunakan oleh suku-suku di wilayah adat Meepago di Provinsi Papua Tengah dan Lapago di Provinsi Papua Pegunungan. Wilayah adat Meepago meliputi Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Mimika. Sementara itu, wilayah adat Lapago mencakup Kabupaten Puncak Jaya, Puncak, Nduga, Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Tolikara, Yalimo, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo. Menurut Cahyo Pamungkas, sistem noken dapat ditemui di keenambelas kabupaten ini.

    Namun, menurut Lampiran II Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemungutan Suara dengan Sistem Noken/Ikat di Papua dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, hanya terdapat dua belas kabupaten yang dapat menyelenggarakan pemungutan suara dengan sistem noken, yaitu Yahukimo, Jayawijaya, Nduga, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Deiyai, dan Dogiyai. Pengecualian diberikan kepada Kelurahan Wamena, Sinapuk, dan Sinakma di Kabupaten Jayawijaya; Kampung Kobakma dan Kelila di Mamberamo Tengah; serta Kampung Ovi, Langgalo, Bokon, Dura, Wadinalomi, Ekonom, Yorenime, Yogobak, Abua, Teologi, Werme, dan Guma Game di Kabupaten Lanny Jaya, yang berarti bahwa daerah-daerah ini menggunakan sistem pemilu nasional